Menurut sejarahnya, pempek telah ada di Palembang sejak masuknya perantau Tionghoa ke Palembang, yaitu di sekitar abad ke-16, saat Sultan Mahmud Badaruddin II berkuasa di kesultanan Palembang-Darussalam. Nama empek-empek atau pempek diyakini berasal dari sebutan apek atau pek-pek, yaitu sebutan untuk paman atau lelaki tua Tionghoa. Berdasarkan cerita rakyat, sekitar tahun 1617 seorang apek berusia 65 tahun yang tinggal di daerah Perakitan (tepian Sungai Musi) merasa prihatin menyaksikan tangkapan ikan yang berlimpah di Sungai Musi yang belum seluruhnya dimanfaatkan dengan baik, hanya sebatas digoreng dan dipindang. Ia kemudian mencoba alternatif pengolahan lain. Ia mencampur daging ikan giling dengan tepung tapioka, sehingga dihasilkan makanan baru. Makanan baru tersebut dijajakan oleh para apek dengan bersepeda keliling kota. Oleh karena penjualnya dipanggil dengan sebutan "pek … apek", maka makanan tersebut akhirnya dikenal sebagai empek-empek atau pempek.[1]
Namun, cerita rakyat ini patut ditelaah lebih lanjut karena singkong baru diperkenalkan bangsa Portugis ke Indonesia pada abad 16, sementara bangsa Tionghoa telah menghuni Palembang sekurang-kurangnya semenjak masa Sriwijaya. Selain itu velocipede (sepeda) baru dikenal di Perancis dan Jerman pada abad 18. Dalam pada itu Sultan Mahmud Badaruddin baru dilahirkan tahun 1767. Walaupun begitu memang sangat mungkin pempek merupakan adaptasi dari makanan Tionghoa seperti bakso ikan, kekian atau pun ngohiang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar